Mandalika Creative Hub Bedah Buku Topeng Labuapi, Tularkan Minat Sastra di Lombok Tengah

Mandalika Creative Hub (MCH) bersama para komunitas pegiat literasi membedah buku Topeng Labuapi Sepilihan Puisi karya Lamuh Syamsuar, di Tunas Coffee, Praya, Kabupaten Lombok Tengah, Kamis (10/11/2022) malam.
Acara tersebut merupakan kegiatan yang digelar sebagai upaya memperluas khazanah sastra dan literasi di Lombok Tengah.
Lalu Gitan, selaku ketua sub sektor Penulisan dan Penerbitan di Mandalika Creative Hub menuturkan bahwa kerja-kerja kolaborasi antar komunitas sudah saatnya dilebarkan, agar ruang-ruang diskusi dan sirkulasi pengetahuan semakin merata, khusunya di Lombok Tengah.
“Sebab kegiatan-kegiatan semacam ini, sebagai upaya dan peluang untuk memupuk semangat sastra di Lombok Tengah, agar bisa tumbuh dengan baik,” kata Gitan.
Ia juga meyakini bahwa para penulis-penulis di Lombok Tengah memiliki potensi yang luar biasa.
“Sehingga mereka, tidak boleh dilepaskan begitu saja. Harus dibuat lingkungan yang dapat mendukung semangat mereka,” ucapnya.
Sementara itu, Randa Anggarista selaku pembedah buku Topeng Labuapi mengaku merasa senang mendapat kesempatan membedah buku salah seorang sastrawan di Lombok Tengah.
Ia juga menjelaskan bahwa forum-forum serupa, perlu diadakan lagi, sebab karakter tiap sastrawan di Lombok memiliki kekayaan bentuk yang dapat digali terus menerus.
“Dari kegiatan-kegiatan seperti ini, kita tidak hanya menambahkan pengetahuan, tetapi juga dapat mengenal lebih dekat sastrawan kita,” ucap tenaga pengajar Ilmu Bahasa dan Sastra di Universitas Qamarul Huda Badaruddin Bagu itu.
Tentang apa yang ditemukannya dari hasil bedah buku puisi karya Lamuh Syamsuar itu, ia mengatakan bahwa 78 sajak yang terkandung didalamnya memuat berbagai identitas kearifan lokal.
“Dimana saya melhat dari dua sisi, sisi dingin dan panas, sama seperti kata Labuapi, yang berakar dari dua kata yaitu labuh dan api,” tuturnya.
Labuh berarti suatu yang tergerai atau dimaknai sebagai penutup/akhir, sementara api ini berarti benda atau nomina, dengan sifat yang panas.
“Maka labuapi sebenarnya adalah dua sisi yang terdapat dalam sebuah zat yang mengambil potongan kisah Cupak dan Gurantang dari legenda suku sasak,” lanjut Randa Anggarista.
Diririnya memaknai Cupak sebagai api tadi karena memiliki sifat antagonis, berupa rakus, pemarah. Sementara Gurantang adalah labuh tadi yang sifatnya teduh.
Selain dua sisi dari sisi morfologisnya, Topeng Labuapi juga mengambil wajah Jawa dan Sasak, terutama dari sisi lokalitasnya, baik pada sistem mata pencaharian, terdapat diksi padi, kebun atau gawah, kemudian bsistem kepercayaan, yakni Bodha dan Wetu Telu,
“Kemudian padaa sistem bahasa, terdapat penggunaan bahasa sasak, yang mengingatkan saya pada tulisan Sujiwo Tejo, Emha Ainun Nadjid atau Sumonto A. Sayuti yang cenderung menggunakan bahasa Jawa dalam teksnya,” terang Randa Anggarista.
“Selain itu, terdapat juga sisi feminisme atau maskulinitas perempuan, hingga isu lingkungan juga termuat dalam tulisan dengan 78 sajak tersebut,” pungkasnya


