Wayang Sasak merupakan wayang kulit yang berkembang kalangan masyarakat suku Sasak, Pulau Lombok.
Konon, perkembangan kesenian ini bersamaan dengan penyebaran agama Islam di abad ke 16 yang dibawa oleh Sunan Prapen.
Selain itu, kehadiran wayang kulit sasak ini juga bersamaan dengan wayang golek yang berkembang di Jawa dengan sama-sama mengambil cerita Wong Menak.
Sehingga tak heran, wayang kulit sasak juga sering kali dikenal dengan sebutan Wayang Menak.
Pendapat lain juga mengatakan bahwa konon wayang di Lombok diciptakan pula oleh Pangeran Sangupati yaitu seorang Mubalig Islam di Lombok. Hanya saja data yang pasti tentang asal usul dan pencipta wayang di Lombok ini masih belum ada.
Namun pada dasarnya cerita wayang sasak di Lombok mengambil cerita Menak yang sumber
ceritanya berasal dari cerita Amir Hamzah, paman dari Nabi Muhammad SAW.
Cerita tersebut datang dari Persia (Iran) yang masuk ke Indonesia melalui tanah Melayu dan ditulis di atas daun lontar dengan menggunakan huruf aksara sasak.
Amir Hamzah sebagai tokoh didalam wayang sasak dan diberi banyak gelar, diantaranya Jayengrane, Wong Menak, Jayeng Laga, Jayeng Tinon , Jayeng palugon/ Jayeng Palupi, Jayeng Murti dan Khamidil Alam.
Sedangkan dari segi peranan, wayang yang memerankan kebaikan disebut wayang kanan dan selalu ditempatkan atau dikeluarkan dari kanan, sementara itu, tokoh wayang yang menggambarkan kejahatan (wayang kiri) selalu keluar dari arah kiri.
Adapun tokoh dari wayang kanan adalah Umar Maye, Umar Madi, Maktal, Tamtatanus, Taptanus, Selandir atau Alamdaur.
Sedangkan tokoh wayang kiri antara lain Prabu Nursiwan, Baktak, Raden Imran, Petal Jemur, Rurah, dan Kembung.
Kesenian wayang sasak biasanya dimainkan oleh seorang dalang pada malam hari (semalam suntuk) dengan menggunakan panggung pertunjukan dan biasanya membawa berbagai judul, seperti Bangbari,
Gendit Birayung, Bidara Kawitan, Dewi Rengganis, dan lain sebagainya.