Menenun adalah sebuah tradisi kedewasaan bagi perempuan Suku Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Perempuan Sasak akan dinilai dewasa dan siap untuk menikah, jika telah bisa menenun sebuah kain.
Tidak heran Inaq-Inaq yang artinya ibu-ibu di Lombok mengajarkan anak mereka menenun sejak usia dini. Selain itu, etnis yang satu ini sangat menjunjung tinggi tradisi menenun, sehingga banyak wanita-wanita Sasak yang menjadi penenun handal.
Tak jarang kita temui anak-anak perempuan berusia 9 tahun sudah aktif menenun. Maklum saja, bagi seorang wanita Sasak, kemampuan menenun adalah sebuah kewajiban, sehingga harus diajarkan dan dijadikan pembiasaan sejak dini. Bahkan mereka beranggapan bahwa seorang perempuan Sasak yang belum bisa menenun berarti belum mampu untuk berumahtangga. Sebelum menikah, perempuan Suku Sasak Lombok harus membuat tiga sarung tenun. Satu untuk diri sendiri, satu untuk suami, dan satu lagi untuk mertua perempuan.
Para wanita perajin suku Sasak masih mempertahankan peralatan serba tradisional, mulai alat memintal benang hingga penenunan. Kain tenun Sasak Lombok punya tekstur tebal, tidak mudah kusut, dan tak mudah luntur. Hal itu dihasilkan dari teknik pembuatan kain yang dilakukan para perempuan Sasak. Kualitas tenun pun sangat baik dengan kerapatan benang yang padat. Itu sebabnya, pengerjaan sehelai kain berukuran 60 x 200 cm memakan 2-4 minggu, bergantung pada kerumitan motif.
Ragam motif kain tenun Sasak dipengaruhi agama yang dianut suku ini. Sebelum masuknya Islam, motif kain tenun didominasi motif tumpal/pucuk rebung mirip deretan gunung sebagai perwujudan Dewi Sri sebagai dewi kemakmuran dan motif hewan seperti burung. Motif tumbuh-tumbuhan, seperti sulur, pucuk rebung, pohon hayat, dan bunga bersusun delapan seperti bintang mendominasi setelah masuknya agama Islam.
Sementara itu, motif geometris hanya ada pada kain pelekat. Kualitas kain tenun tentu berbanding lurus dengan tingkat kesulitan, keahlian dan kesabaran yang diperlukan dalam pembuatannya.
Maka tak heran harga kain tenun asli Suku Sasak terbilang cukup mahal, hingga mencapai jutaan rupiah. Namun selain nilai ekonomi dan kualitas, kita juga harus belajar menghargai nilai-nilai luhur dan tradisi yang terkandung di dalamnya. Selain itu, membeli produk asli Indonesia ini tentu juga akan berdampak positif bagi pengrajin suku Sasak itu sendiri.
Namun demikian, belakangan di Lombok juga dijual kain buatan luar suku Sasak yang dibuat mirip namun hanya dibuat dalam waktu tiga hari saja. Walau harganya jauh lebih murah, tentu tidak dapat menandingi kain tenun asli Sasak yang memiliki susunan benang yang ditenun sangat rapat agar kain awet.
Disisi lain untuk nama Sasak sendiri sangat berkaitan erat dengan tenun-menenun yang disebut sebagai sèsèk. Kata sèsèk ini berasal dari kata “sesak” atau “sesek”.
Menenun khas suku Sasak memang dilakukan dengan cara memasukkan benang satu-persatu yang disebut dengan sak sak. Lalu benang tersebut dirapatkan hingga sesak dan padat. Bahkan alat tenun yang digunakan pun mengeluarkan bunyi, sak…sak…ketika sedang digunakan.
Adapula yang menyebutkan kata Sasak pertama kali tertera dalam Prasasti Pujungan yang ditemukan di Tabanan, Bali. Prasasti ini diperkirakan berasal dari abad ke-11. Selain itu, kata Sasak juga ditemukan di dalam Kitab Negara Kertagama. (*12)